Breaking News

WANTIMPRES DIGANTI KE DPA : AKAL-AKALAN POLITIK ATAU PEMBENAHAN LEMBAGA NEGARA ?*



_"Politik adalah seni mencari masalah, menemukannya di mana-mana, mendiagnosisnya secara salah, dan menerapkan solusi yang salah."_ - Groucho Marx

Menjelang berakhirnya masa jabatan Jokowi sebagai Presiden RI 2019 - 2024 pada Oktober 2024 mendatang, lagi2 kita dikejutkan dengan "gercep" Parlemen alias DPR-RI pada Rapat Paripurna ke 22 pada Kamis/11 Juli 2024, yaokni mengesahkan inisiatif Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk merevisi UU No 19 tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Sebelum meminta persetujuan, rapat paripurna mengagendakan penyampaian pendapat fraksi-fraksi terhadap RUU Wantimpres. Setiap fraksi diwakili oleh satu juru bicara untuk menyampaikan pendapat terhadap RUU Wantimpres secara tertulis.

Pengesahan RUU Wantimpres menjadi usul inisiatif DPR ini dihadiri 131 anggota DPR, sedangkan 159 legislator lainnya izin. Adapun sebelumnya, revisi UU Wantimpres sudah mendapatkan persetujuan di Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (9/7/2024).

Sembilan fraksi di Baleg menyetujui revisi UU Wantimpres dibawa ke tingkat selanjutnya, yaitu pengesahan menjadi usul inisiatif DPR dalam rapat paripurna. Keputusan ini didapat setelah sembilan fraksi Baleg menyampaikan pandangan mininya terkait revisi UU Wantimpres. 

Adapun revisi ini, salah satunya mengatur perubahan nomenklatur Wantimpres menjadi DPA. Baleg memastikan tidak ada perubahan fungsi dari Wantimpres ke DPA meski nomenklatur diganti (Kompas.com 11 Juli 2024).

Pertanyaan besarnya, kenapa secara mendadak DPR-RI melakukan inisiatif RUU Perubahan Wantimpres menjadi DPA yang sebenarnya belum "urgent" saat ini? Apalagi RUU Perubahan tersebut tidak masuk dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) DPR-RI 2019 - 2024. Sementara disisi lain, justru cukup banyak RUU "urgent" yang seharusnya segera "digeber" untuk menjadi UU yang memberikan kemaslahatan untuk rakyat dan negara, malah tak dituntaskan. 

Sebagaimana daftar Prolegnas Prioritas tahun 2024, terdapat 19 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sudah ada sejak Prolegnas 2015-2019. Dari 19 RUU itu diantaranya meliputi RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA).

Khusus untuk RUU PPRT, dilakukan demo untuk mendesak pengesahannya oleh DPR-RI bersama Presiden. Untuk RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA), ada tuntutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, karena belum disahkannya RUU yang berlarut-larut tersebut. 

Perlu dipertanyakan, apa tantangan dalam proses pengesahan berbagai RUU ini hingga berlarut-larut belum disahkan juga, sementara inisiatif RUU perubahan Wantimpres menjadi DPA bisa bak "secepat kilat" dilakukan sidang "marathon" oleh DPR - RI yang notabene saat ini sudah "dikooptasi" suara mayoritasnya oleh Rezim berkuasa saat ini dan Rezim lanjutan Pimpinan Presiden terpilih Prabowo yang memiliki visi, misi dan program kerja yang berkesinambungan.

POLITIK AJI MUMPUNG

Politik, sejatinya sarana mulia untuk mengimplementasikan dan mewujudkan aspirasi mayoritas suara rakyat pemilih setelah meraih kekuasaan. Amanah dan aspirasi mayoritas rakyat tersebut, harusnya menjadi prioritas dalam menjalankan kekuasaan yang dimandatkan di negara demokrasi. Kepentingan individu dan kelompok, seharusnya sudah selesai, setelah kekuasaan yang diimpikan tersebut sudah dalam genggaman. 

Namun sayangnya, praktik2 politik yang kurang ber-etika, bermoral dan beradab, justru menjadi awal masuknya "virus" perusak demokrasi dan mengkhianati suara dan aspirasi rakyat pemilih. Janji2 politik yang "diobral" tanpa hati dan nurani bahkan anti logika oleh kaum Politikus, sudah menjadi budaya politik yang diterima masyakarat tanpa "reserve". Janji2 hanya tinggal janji, setelah sang Politikus alias kaum pemburu kursi legislatif dan eksekutif tersebut duduk di kursi empuk kekuasaan. 

Musim kampanye usai, mereka lupa dengan janji2 gombal, lalu mulai dengan segudang agenda individu dan kelompok yang sudah dirancang dan diskenario sejak awal.

Kembali ke isu utama tentang gerak cepat alias "gercep" DPR-RI menginisiasi RUU Perubahan Wantimpres menjadi DPA, sungguh sangat mudah "dibaca" oleh khalayak masyarakat yang selalu mengikuti perkembangan perpolitikan di negeri ini. 

Bak bahasa gaul, "anak SD juga tahu", menunjukkan DPR-RI benar2 telah menjadi alat kekuasaan untuk keberlangsungan rezim berkuasa dengan "gaya baru", bukannya malah menolak demi tegaknya sistem demokrasi di negeri ini. Hal ini bisa dipahami secara akal sehat politik, karena mayoritas Fraksi di DPR-RI sudah menjadi bagian Koalisi Super Besar dibawah kepemimpinan Jokowi dan insya Allah akan dilanjutkan oleh Rezim baru 2024 - 2029 dibawah Pimpinan Prabowo-Gibran

Tak bisa dipungkiri, Politik aji mumpung sangat terlihat secara vulgar dengan merubah Wantimpres menjadi DPA yang nantinya Jokowi setelah lengser akan diposisikan sebagai Ketua DPA yang notabena akan sejajar dengan Presiden. Artinya, Kepemimpinan Rezim Jokowi tetap "membayangi" Rezim Presiden terpilih Prabowo Subianto. 

Tampaknya Jokowi tak ingin benar2 istirahat sebagai rakyat biasa sebagaimana sering beliau sampaikan didepan publik saat ditanya Pers terkait rencana setelah lengser menjadi Presiden RI. Apalagi lahan seluas hampir 12 ribu meter persegi beserta pembangunan rumah sudah disiapkan oleh negara untuk beliau pensiun nanti. 



Seharusnya Jokowi meninggalkan "legacy" politik yang demokratis, anti dinasti dan anti nepotisme demi tegaknya masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik dimasa mendatang. Episode DPA nanti, akan menambah daftar panjang bagi Generasi Milenial yang akan menjadi penerus cita2 bangsa untuk mencontoh, begitu vulgar dan tak bermoralnya Politik di negeri ini. 

Lantas, pelajaran terbaik apa yang bisa kita wariskan demi Indonesia emas 2045? Tanyakan kepada rumput yang bergoyang, kata Ebiet G Ade.

Bekasi, 13 Juli 2024

Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum, Demokrasi & Ketenagakerjaan)

Tidak ada komentar